Tampilkan postingan dengan label Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Juli 2012

Pelatihan Fasilitator Desa/Kelurahan Warga Peduli AIDS di Kebumen bagi 35 Desa

Selama tiga hari Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen menyelenggarakan Pelatihan Fasilitator Desa/Kelurahan Warga Peduli AIDS di Kebumen bagi 35 Desa. Pelatihan  dilaksanakan pada tanggal 12 hingga 14 Juli 2012, dengan mengambil tempat di Aula Dinas Kesehatan. Peserta pelatihan berasal dari Forum Kesehatan Desa (FKD), yang merupakan perwakilan dari masing-masing wilayah Puskesmas.

Pelatihan Fasilitator Desa/Kelurahan Warga Peduli AIDS di Kebumen, merupakan tindak lanjut dari Pelatihan Fasilitator WPA Kecamatan beberapa waktu lalu, dengan melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Dinas Nakertransos, Dinas Pendidikan dan Olah Raga, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Kesehatan dan dari unsur KPAD Kebumen serta LSM Peduli AIDS di Kebumen.

Dalam sambutan pembukaanya, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Kebumen yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, menyatakan bahwa, pelatihan ini merupakan serangkaian kegiatan yang sudah ditempuh dalam upaya pengendalian HIV/AIDS di Kebumen. Disampaikan juga, bahwa upaya-upaya lain yang sudah dan tengah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan bersama KPAD dalam pengendalian kasus HIV/AIDS di Kebumen antara lain: Optimalisasi pelayanan VCT mobile, Pelatihan PITC bagi Tenaga Kesehatan di Puskesmas, P3, Rumah Sakit Negeri dan Swasta.

Selasa, 12 Juni 2012

Mengenal Penyakit Kusta



Pengertian
Penyakit kusta disebut juga lepra (leprosy) atau Morbus Hansen, dan nama lain di India:Korh, Vaahi (Kala Vaah), Motala/ Motali Mata, Pathala dan Bada Dukh (Kandouw, 2000).Nama tersebut berbeda karena daerah yang berbeda menyebutkan lain, seperti pathala di Sondwadan Korh dan Kala Vaa di Thandla (Bhopal, 2002).

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler ataukuman Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang saraf tepi danselanjutnya menyerang kulit serta organ tubuh lainnya. Penyakit kusta dapat mengakibatkankecacatan tubuh serta menimbulkan masalah psikososial akibat masih adanya stigma danpersepsi masyarakat yang jelek pada penderitanya (Jopling, 1996).

Epidemiologi
Penderita kusta tersebar di seluruh dunia, walaupun terbanyak di daerah tropik dan subtropik.Penyebarannya terutama di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin. Jumlah yang tercatat 888.340orang pada tahun 1977. Pada milinium ini telah ditemukannya 800.000 kasus baru kusta setiaptahunnya. Di Indonesia diperkirakan kasus kusta mencapai 1-3 per 10.000 penduduk ataumenempati urutan ke-4 terbanyak di dunia setelah negara India, Brazil dan Bangladesh (lihat)gambar (2.1) Frekuensi terbanyak terdapat pada kelompok umur produktif yaitu 15-29 tahun,penyakit yang disebabkan M. Lepra ini dapat mengenai semua kelompok umur, bahkan pernahditemukan pada bayi usia 2,5 bulan dan lansia diatas 70 tahun (Harahap, 2000).

Sumber penularan kusta adalah penderita kusta tipe lepromatosa yang belum mendapatpengobatan. Keluarganya yang serumah dengan penderita kusta lepromatosa mempunyai resikotertular 4-10 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal tidak serumah.Sedangkan penderita tipe tuberkuloid mempunyai kemampuan menularkan pada orang lain yangserumah sekitar 2 kali dari yang tidak serumah. Resiko penularan kepada anaknya lebih dominandibandingkan resiko terhadap pasangan hidupnya (Agusni, 2001).

Penularan kusta yang sebenarnya masih belum seluruhnya terungkap. Saat ini yangdiperkirakan sebagai sumber penularan (port d’exit) adalah mukosa hidung penderita kusta tipelepromatosa yang belum diobati. Selain itu juga pada lesi kulit nodular yang pecah bisaditemukannya banyak kuman M. Leprae sebagai tempat port d’entry berada di mukosa hidungsecara droplet infection. Seterusnya M. leprae melakukan adesi dan masuk ke dalam monosit danberedar di darah. Monosit berperan sebagai kuda troya yang akhirnya pecah lalu kuman masuk ke sel Schwan tepatnya di perineum(Boddingius, 1995).
  
Setelah World Health Organization (WHO) melakukan program eliminasi kusta, dengan
menggunakan Multi Drug therapy (MDT) selama 22 tahun. Sebelum tahun 2003 dapat terlihatpada gambar 2.2. Pada tahun 1992 terdapat 88 negara yang melakukan program eliminasitercatat adanya penurunan jumlah kusta, yaitu 1 per 10.000 penduduk. Di tahun 2003 terdapat 9negara yang tercatat kasus kusta pada prevalensi rata-rata 2.0 - 4.1 per 10.000 penduduk dan 3negara mempunyai prevalensi kusta rata-rata 1-2 kasus per 10.000 penduduk. Sejak tahun 1981sampai sekarang sudah lebih dari 12 juta penderita kusta telah mendapatkan pengobatan MDT(morel C.M, 2003).

Penyakit kusta banyak menyerang pada masyarakat golongan sosio ekonomi rendah. Keadaanini dikaitkan dengan gizi yang buruk dan dapat mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuhsecara umum. Faktor lingkungan serta hygiene yang tidak baik selalu ditemukan pada tempatpenderita yang terinfeksi M. leprae (Agusni, 2003).SEJARAH* Sebenarnya penyakit kusta sudah dikenal sejak zaman purbakala, pada waktu itu penyebabnyatidak diketahui, masyarakat hanya mengetahui akibat yang terjadi pada penderita kusta karenamenimbulkan kecacatan, saat itulah muncul anggapan bahwa cacat pada penderita kustadisebabkan oleh kutukan Tuhan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan, bahkan dalamkitab Perjanjian Lama pada Levecticus XIII – XIV dikatakan bahwa “ini adalah sesuatu yangnajis dan merupakan kutukan dari Tuhan, sehingga tindaklanjutnya sudah jelas yaitu denganmembuang para penderita ini dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan masyarakat” (Ilias,1990).

Di dalam kitab Sushrat Samhita di zaman India kuno (1300 SM) telah tercantum istilah khustyang diartikan kusta atau lepra (leprosy) pada 600 SM dan di Cina pada 400 SM. Mycobacteriumleprae telah ditemukan sejak 129 tahun yang lalu, istilah zaraath yang merupakan Bahasa Ibranikuno juga mengartikan sebagai kusta. Di dalam kitab-kitab kuno dari Tiongkok (Da Feng)terdapat adanya tulisan pada daun lontar, sedangkan di zaman Mesir kuno (eber paptyrus) telahtertuliskan mengenai penyakit yang sekarang kita sebut lepra. Istilah tersebut berasal dari BahasaYunani kuno (WHO, 2003).

Etiologi
Penyebab penyakit kusta oleh karena Mycobacterium leprae, yaitu kuman yang bersifat grampositif, berbentuk batang lurus atau melengkung, ukuran panjang 1-8 mikron, diameter 0,2 – 0,5,mikron dan mempunyai sifat pleomorfik. Mycobacterium leprae termasuk golongan BasilTahan Asam (BTA) bila dilakukan pewarnaan Ziehl Neelsen, namun dalam mengikat warnamerah dari karbol Fuchsin tidak sekuat Mycobacterium tuberculosis (Agusni, 2001).Mycobacterium leprae, mempunyai 5 (lima) sifat penting yang perlu diketahui yaitu :

1.      Merupakan organisme obligat endogeous dan tidak bisa dibiarkan dalam media buatan
2.      Sifat mengikat asamnya dapat diekstraksi dengan pyridine
3.      Mampu mengoksidasi zat D–dihydroxy phenylalanine (D – DOPA)4.
4.      Mengivansi sel schwan dari system saraf tepi terutama di perineum
5.      Permukaan membrane mengandung phenolic glycolipid I (PGL-I) dan lipoarabinomannan (LAM) (Shimoji Yang, 1999).

Patogenesis Penyakit Kusta
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala dantanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Seringkali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak orang punya kekebalan alamiahdan tidak menjadi penderita kusta (Agusni, 2001).

Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di perineum, karenabasil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang mampu-2 G α berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu laminin -dystroglycam.Kemampuan adesi tersebut merupakan α receptor sejenis cara invasi basil kusta pada perineum,sel schwnn sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae,tetapi tidak dapat menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yangmampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di selschwann (Agusni, 2003).

Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh sistemimunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua yangtidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulaimengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelanM. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.

Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil kustadapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid– Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline – Borderline (BB), tipeBorderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous (LL) (Jopling, 2003).

Manifestasi Klinis Penyakit Kusta
Gambaran klinik yang jelas berupa:
·        kekakuan tangan dan kaki
·        clawing pada jari kaki
·        pemendekan jari bahkan mudah terjadi perdarahan dan
·        adanya makula dengan hilangnya rasatusukan. Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudahlanjut dan sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.

Pelatihan PITC bagi Tenaga Paramedis dan Bidan Puskesmas dan Rumah Sakit di Kebumen

Workshop Fasilitator WPA Kecamatan Tingkat Kabupaten



Selama empat hari (22-25 Mei 2012), Dinas Kesehatan, KPAD Kebumen menyelenggarakan Pertemuan Workshop Fasilitator WPA Kecamatan Tingkat Kabupaten. Pertemuan Workshop yang mengambil thema Respon Masyarakat dalam menghadapi Epidemi HIV/AIDS itu diikuti 30 peserta terdiri: 26 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), LSM Peduli AIDS "Bougenvile", Sekretariat KPAD, unsur SKPD Dikpora, Dinas Kesehatan dan Bapermasdes.

Bertindak sebagai narasumber Workshop adalah Ngestiono, SKM, M.Kes dari unsur Ketua KPA Provinsi Jateng, Dr. dr. Susilowati, M.Kes dan Novan dari Pusat Studi CHP-SC Yogyakarta, dr. Cahyo dari Poli VCT RSUD Kebumen dan Dinas Kesehatan.

Selasa, 24 April 2012

Pelatihan (Refreshing) petugas mikroskopis Malaria di Kabupaten Kebumen



Penyakit malaria masih merupakan problema kesehatan. Malaria memberi dampak negative yang serius, trutama pada anak-anak yang tinggal didaerah endemis karena dapat menyebabkan malaria berat dan berakibat kematian. Pada orang dewasa penyakit ini akan menurunkan produktifitas ekonomi dan social. Secara umum ada empat spesies
penyebab malaria pada manusia yaitu plasmodium vivax, plasmodium falcifarum, plasmodium ovale, plasmodium malariae. Meskipun dalam perkembangannya, terdapat juga jenis plasmodium lain, seperti: plasmodium knowlesi dan plasmodium berghei.

Diantara keempat spesies ini, plasmodium falcifarum merupakan penyebab malaria berat dengan berbagai komplikasi seperti malaria cerebral, malaria algid yang dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak. Identifikasi spesies plasmodium yang tepat sangat penting untuk diagnosis malaria sehingga pengobatan yang tepat dapat diberikan dengan cepat agar komplikasi dapat dihindari.

Untuk mengetahui diagnosis malaria secara tepat dan cepat perlu mempelajari spesies plasmodiumdan stadia-stadia di darah perifer, serta pelatihan cara pembuatan hapusan dan sediaan tetes tebal serta cara pengecatan yang baik. Untuk tujuan tersebut diatas, Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen melalui Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, mengadakan pelatihan petugas mikroskopis malaria yang dibiayai dari APBD Kabupaten Kebumen.

Pelatihan ini dilaksanakan selama 2 hari pada tanggal 25-26 April 2012 bertempat di Aula Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Peserta pelatihan sebanyak 21 orang yang terdiri atas petugas mikroskopis Dinas Kesehatan, Puskesmas, RS dan Labkesmas se- Kabupaten Kebumen.Narasumber berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen dan Provinsi Jawa Tengah. 

Pelatihan diawali dengan pengarahan dan paparan situasi malaria di Kabupaten Kebumen oleh Kadinkes Kab. Kebumen yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, dilanjutkan teori dan praktek yang disampaikan oleh Bapak Mulyono, sebagai narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Pada kesempatan tersebut, dibahas materi teori dan praktek: pembuatan sediaan darah sesuai standar, mengenal jenis parasit dan stadium malaria.

Kamis, 29 Maret 2012

Waspada Demam Berdarah



Bagaimana risiko penularan DBD
  • Pada peralihan musim penghujan perlu diwaspadai akan munculnya penyakit demam berdarah. Pada masa ini, populasi nyamuk demam berdarah meningkat karena banyaknya tempat perindukan.
  • Karakteristik nyamuk Aedes-vektor penyakit DBD, hidup pada genangan air jernih, yang tidak menyentuh tanah secara langsung. Dengan adanya barang-barang seperti kaleng, ban bekas, tempayan yang terisi air, jika tidak diamankan, sangat disukai nyamuk untuk berkembang biak.
  • Selama tahun 2011 tercatat 31 dan hingga bulan Maret 2012  ada 9 kasus DBD di Kebumen ada di beberapa tempat
  • Kasus DB sudah muncul tidak hanya di perkotaan
  • Kelompok masyarakat yang paling rentan dalam kondisi ini biasanya: anak-anak, khususnya Balita, ibu hamil dan ibu menyusui, orang tua serta orang dengan berbagai penyakit kronis.

 

Nyamuk Aedes Aegypti

  • Wabah demam berdarah yang menarik perhatian dunia pertama kali muncul di Manila pada tahun 1954. Sebagian besar kasus demam berdarah terjadi di negara yang terletak pada daerah tropis dan subtropis. Hal ini tidak mengherankan karena nyamuk suka dengan lingkungan yang hangat untuk hidup.
  • Nyamuk Aedes aegypti merupakan pembawa virus dari penyakit Demam Berdarah. Cara penyebarannya melalui nyamuk yang menggigit seseorang yang sudah terinfeksi virus demam berdarah. Virus ini akan terbawa dalam kelenjar ludah si nyamuk. Kemudian nyamuk ini menggigit orang sehat. Bersamaan dengan terhisapnya darah dari orang yang sehat, virus demam berdarah juga berpindah ke orang tersebut dan menyebabkan orang sehat tadi terinfeksi virus demam berdarah.
  • Nyamuk demam berdarah ini memiliki siklus hidup yang berbeda dari nyamuk biasa. Nyamuk ini aktif dari pagi sampai sekitar jam 3 sore untuk menghisap darah yang juga berarti dapat menyebarkan virus demam berdarah. Sedangkan pada malam hari, nyamuk ini tidur. Maka, berhati-hatilah terhadap gigitan nyamuk pada siang hari dan cegah nyamuk ini menggigit anak yang sedang tidur siang.
  • Kebiasaan dari nyamuk ini adalah dia senang berada di genangan air bersih dan di daerah yang banyak pohon seperti di taman atau kebun. Genangan air pada pot bunga mungkin menjadi salah satu tempat favorit nyamuk yang dapat terlupakan oleh Anda.

Gejala Demam Berdarah

Seseorang yang terinfeksi virus Demam Berdarah Dengue (DBD), umumnya menunjukkan gejala-gejala berikut:
  • Demam tinggi terus menerus. Suhu badan sekitar 39 - 40 derajat Celcius. Hal ini menyebabkan sakit kepala pada penderita.
  • Demam tanpa disertai batuk-batuk.
  • Sakit perut atau mual.
  • Badan terasa pegal atau nyeri pada persendian.
  • Muncul bintik-bintik merah, tetapi hal ini tidak selalu terjadi pada setiap kasus.
Jika ada anggota keluarga Anda menunjukkan gejala-gejala tersebut, sebaiknya segera bawa ke petugas kesehatan untuk mendapat pengobatan. Jangan biarkan demam terlalu lama karena dapat mengakibatkan terlambat untuk ditolong. 

 

Bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD)

  • seseorang yang sudah pernah terkena penyakit demam berdarah, tidak berarti dia tidak akan terkena penyakit ini lagi, karena ada tipe lainnya yang dapat menyebabkan DBD juga.
  • Saat terkena DBD, seseorang akan mengalami 3 fase. Yang pertama adalah fase demam selama 3 hari pertama. Berlanjut pada 3 hari selanjutnya yang merupakan fase kritis. Pada fase ini, demam sudah tidak terjadi, tetapi di fase inilah harus waspada agar tidak terkecoh dengan menganggap sudah sembuh dan tidak diberi pengobatan. Tiga hari selanjutnya adalah fase penyembuhan.
  • Salah satu bahaya dari demam berdarah adalah menganggap demam yang dialami sebagai demam biasa sehingga dianggap ringan dan tidak mendapat perawatan khusus. Apalagi, pada fase kedua, biasanya demam sudah turun sehingga dianggap sudah sembuh.
  • Hal-hal yang membahayakan dari penyakit DBD karena infeksi virus ini dapat menyebabkan jumlah trombosit darah turun menjadi sangat rendah. Yang kemudian akan menyebabkan pembuluh darah menjadi kempis, cairan bocor sehingga darah masuk ke rongga-rongga tubuh dan menyebabkan pendarahan pada telinga, hidung, atau kulit yang dapat mengakibatkan kematian.

Pengobatan DBD

Jika ada anggota keluarga yang menderita DBD atau sakit dengan gejala DBD, maka segeralah dibawa ke petugas kesehatan. Ada hal yang dapat dilakukan sebagai pertolongan pertama penyakit ini adalah:
  • Berikan obat penurun panas atau parasetamol.
  • Kompres dengan air hangat agar panas tidak terlalu tinggi. Kompres sebaiknya dilakukan dengan air hangat, bukan dengan air dingin atau es. Air dingin dapat menyebabkan penderita menggigil sehingga tubuh menjadi panas.
  • Minum air putih yang banyak. Penderita DBD biasanya akan kekurangan cairan, maka air putih sangat baik untuk mereka. Air putih juga dapat membantu menurunkan panas. Selain air putih, bisa juga berikan cairan oralit untuk membantu penyembuhan.
  • Makanan yang bergizi. Sebenarnya tidak ada pantangan makanan untuk penderita DBD. Berikan makan bergizi agar tubuh menjadi kuat dan dapat melawan virus DBD. Buah-buahan dan sayuran dapat sangat bermanfaat untuk pemulihan.


Penanganan dan Perawatan Penderita DBD
  • Penderita DBD sangat dianjurkan dirawat di RS, karena tindakan medis bisa segara diambil jika kondisi pasien menurun juga dimungkinkan diberikan infus untuk menambah cairan pasien. Serta butuh ketelitian dalam perawatannya dan harus terus berkonsultasi dengan dokter dlm melakukan periksa darah setiap hari untuk mengetahui kondisinya.


Penanganan dan Pencegahan DBD

  • Jika di suatu daerah diketahui ada penderita DBD, Dinas Kesehatan akan melakukan Fogging. Fogging di kawasan-kawasan yang terdapat kasus setelah melalui penilaian  dan criteria bahwa: apabila hasil Penyelidikan Epidemiologi ditemukan penderita DB lain atau ≥ 3 tersangka serta ditemukan ≥ 5 % rumah (radius 100m dari penderita) terdapat Jentik nyamuk
  • Pencegahan DBD dilakukan dengan mengendalikan perkembangbiakan nyamuk ada di sekitar kita. Anda dapat melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di lingkungan rumah masing-masing Melalui kegiatan 3M+ (Menutup, Menimbun dan Mensuras plus memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala.)
  • Larva nyamuk akan berkembang di genangan air dalam waktu sekitar seminggu. Untuk itu, perlu dicegah kemungkinan benda-benda yang merupakan tempat berkembangnya larva ini seperti pot bunga, kaleng bekas, ban bekas atau barang lainnya yang menampung genangan air, khususnya pada musim penghujan dimana tempat-tempat tersebut dapat menjadi genangan dari air hujan yang turun.
  • Cegah agar jangan digigit nyamuk, misalnya dengan cara menggunakan lotion atau obat pengusir nyamuk.
  • Mennggunakan bubuk Abate pada selokan dan penampungan air agar tidak menjadi tempat bersarangnya nyamuk.
  •  Jaga kondisi tetap sehat. Kondisi badan yang kuat, membantu tubuh untuk menangkal virus yang masuk sehingga walau terkena gigitan nyamuk, virus tidak akan berkembang.

Penutup: Pencegahan lebih penting daripada kematian!
  • Demam Berdarah tidak dapat dianggap sebagai penyakit ringan.
  • Penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Maka, tindakan pencegahan dan selalu waspada terhadap penyakit ini dapat melindungi orang-orang yang kita kasihi dari bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue atau DBD.

Rabu, 21 Maret 2012

Antisipasi Penyakit Yang Biasa Muncul Pada Musim Hujan



Bagaimana sebenarnya gambaran musim penghujan saat ini?

·        Indonesia saat ini sudah memasuki musim penghujan. Curah hujan tertinggi diperkirakan terjadi pada bulan Januari sampai awal Februari 2012.
·        Datangnya musim hujan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit.
·        Hal ini seperti disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama mengenai antisipasi penyakit yang biasa muncul pada musim hujan dalam berita persnya di Jakarta, 4 Januari 2012

Penyakit apa saja yang perlu diwaspadai?
beberapa penyakit yang perlu diwaspadai selama musim penghujan adalah penyakit akibat virus, penyakit akibat bakteri dan parasit, penyakit akibat jamur, penyakit-penyakit tidak menular, serta penyakit yang disebabkan vektor.
·        Penyakit akibat virus seperti influenza dan diare; 
·        penyakit akibat bakteri dan parasit, terutama pada daerah yang airnya meluap sehingga bakteri dan parasit dari septic tank dan kotoran hewan terangkat dan hanyut kemudian mengkontaminasi air, bahan pangan, atau menginfeksi langsung manusia, seperti  diare, disentri, kecacingan, leptospirosis;
·        penyakit akibat jamur terutama akibat kelembaban pada pakaian;
·        penyakit tidak menular seperti asma, rhinitis, perburukan penyakit kronik;
·        dan penyakit yang disebabkan vektor, seperti: demam berdarah,


Dari jenis2 penyakit tadi, yang sering menimbulkan atau berpotensi wabah/KLB Penyakit, penyakit apa?
·        Semua penyakit menular sebagian besar berpotensi menimbulkan KLB penyakit
·        Ada jenis penyakit yang cepat sekali menular kepada orang lain, diantaranya: Demam Berdarah, Chikungunya dan Diare
Khusus penyakit demam berdarah, bagaimana risiko penularannya?
·        Pada peralihan musim penghujan perlu diwaspadai akan munculnya penyakit demam berdarah. Pada masa ini, populasi nyamuk demam berdarah meningkat karena banyaknya tempat perindukan.
·        Karakteristik nyamuk Aedes, hidup pada genangan air jernih, yang tidak menyentuh tanah secara langsung. Dengan adanya barang-barang seperti kaleng, ban bekas, tempayan yang terisi air, jika tidak diamankan, sangat disukai nyamuk untuk berkembang biak.
·        Selama tahun 2011 tercatat 31 dan selama bulan Januari ada 2 kasus DBD di Kebumen ada di beberapa tempat
·        Kasus DB sudah muncul tidak hanya di perkotaan
·        Kelompok masyarakat yang paling rentan dalam kondisi ini biasanya: anak-anak, khususnya Balita, ibu hamil dan ibu menyusui, orang tua serta orang dengan berbagai penyakit kronis.
Untuk penyakit Chikungunya, bagaimana risiko penularannya?
·        Penyakit chikungunya adalah penyakit yang di sebabkan oleh virus chik yang di bawa oleh nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk yang juga penular penyakit demam berdarah.
·        Penderitanya merasakan demam dan nyeri hebat pada persendian yang merupakan gejala khas demam Chikungunya



Untuk penyakit diare, bagaimana risiko penularannya?
·        diare adalah buang air besar (BAB) encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir
·        penyakit ini diakibatkan oleh bakteri, terutama pada daerah yang airnya meluap sehingga bakteri dari septic tank kemudian mengkontaminasi air, bahan pangan atau bahkan makanan
·        Dapat menimpa pada seluruh golongan umur
·        Selama tahun 2011 tercatat 19.275 orang
Bagaimana upaya Dinas Kesehatan?
·        Sebagai antisipasi dengan datangnya musim penghujan, Kementerian Kesehatan hingga Dinas Kesehatan dan Puskesmas, telah melakukan upaya peningkatan promosi kesehatan kepada masyarakat tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
·        terutama dalam hal penggunaan air bersih; cuci tangan dengan air bersih dan sabun; penggunaan jamban sehat, pemberantasan jentik di rumah, sekolah, kantor, dan lingkungan sekitar; konsumsi buah dan sayur setiap hari; beraktivitas fisik setiap hari; membuang sampah pada tempatnya; tidak meludah sembarangan; serta penggunaan alat pelindung diri, misalnya memakai sepatu boot saat terjadi banjir untuk menghindari infeksi leptospira dan memakai lotion anti nyamuk di wilayah rawan/endemis demam berdarah
·        Bagi petugas kesehatan, diingatkan, untuk meningkatkan kewaspadaan dini dengan surveilans melalui sarana yang tersedia, diantaranya melalui early warning alert response system (EWARS), laporan mingguan kewaspadaan penyakit, surveilans aktif mingguan, dan sms gateway 083-876543-100; meningkatkan pengawasan faktor risiko lingkungan seperti higiene sanitasi air dan lingkungan, tempat perindukan nyamuk, dan lain-lain terutama di daerah banjir dan rawan banjir, menyediakan logistik bahan penjernih air; menyiapkan obat dan alat kesehatan yang memadai di Puskesmas, Rumah Sakit dan sarana pelayanan kesehatan; serta berkoordinasi dengan dinas kesehatan provinsi dan  Unit Pelaksana Teknis (UPT) serta lintas sektor terkait.



Bagaimana upaya pencegahannya di masyarakat
1.      Lingkungan harus selalu diperhatikan agar tetap bersih.
·        Pastikan bahwa makanan dan minuman yang masuk ke dalam mulut terjamin kebersihannya dan higienis pengolahannya. Ajarkan pada anak untuk tidak jajan sembarangan. 
·        Guna memutus perkembangbiakan nyamuk dan mencegah terjadinya KLB DBD dan Chikungunya, warga dihimbau untuk mengoptimalkan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di lingkungan rumah masing-masing Melalui kegiatan 3M+ (Menutup, Menimbun dan Mensuras plus memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala.)
·        Dinkes melalui Puskesmas juga berupaya memberikan kepada masyarakat bubuk abate dan penyuluhan, mengoptimalkan kerja para kader puskesmas menyebarkan informasi tentang PSN. Selain itu, juga melakukan fogging di kawasan-kawasan yang terdapat kasus setelah melalui penilaian  dan criteria bahwa: apabila hasil Penyelidikan Epidemiologi ditemukan penderita DB lain atau ≥ 3 tersangka serta ditemukan ≥ 5 % rumah (radius 100m dari penderita) terdapat Jentik nyamuk

2.    Menjaga agar tubuh tetap sehat
·        Jaga kualitas dan kebersihan makanan
·        Perbanyak makan sayur dan buah
·        Hindari atau kurangi makan makanan dan minuman yang terlalu dingin, terlalu manis dan goreng-gorengan, karena akan merangsang dan mudah mengiritasi tenggorokan
·        Suplementasi mineral dan multivitamin

Senin, 24 Oktober 2011

Mengenal Penyakit Kusta

PENGERTIAN
  • Penyakit kusta disebut juga lepra (leprosy) atau Morbus Hansen, dan nama lain di India: Korh, Vaahi (Kala Vaah), Motala/ Motali Mata, Pathala dan Bada Dukh (Kandouw, 2000). Nama tersebut berbeda karena daerah yang berbeda menyebutkan lain, seperti pathala di Sondwa dan Korh dan Kala Vaa di Thandla (Bhopal, 2002).
  • Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler atau kuman Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang saraf tepi dan selanjutnya menyerang kulit serta organ tubuh lainnya. Penyakit kusta dapat mengakibatkan kecacatan tubuh serta menimbulkan masalah psikososial akibat masih adanya stigma dan persepsi masyarakat yang jelek pada penderitanya (Jopling, 1996).

EPIDEMIOLOGI
  • Penderita kusta tersebar di seluruh dunia, walaupun terbanyak di daerah tropik dan subtropik. Penyebarannya terutama di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin. Jumlah yang tercatat 888.340 orang pada tahun 1977. Pada milinium ini telah ditemukannya 800.000 kasus baru kusta setiap tahunnya. Di Indonesia diperkirakan kasus kusta mencapai 1-3 per 10.000 penduduk atau menempati urutan ke-4 terbanyak di dunia setelah negara India, Brazil dan Bangladesh (lihat) gambar (2.1) Frekuensi terbanyak terdapat pada kelompok umur produktif yaitu 15-29 tahun, penyakit yang disebabkan M. Lepra ini dapat mengenai semua kelompok umur, bahkan pernah ditemukan pada bayi usia 2,5 bulan dan lansia diatas 70 tahun (Harahap, 2000).

  • Sumber penularan kusta adalah penderita kusta tipe lepromatosa yang belum mendapat pengobatan. Keluarganya yang serumah dengan penderita kusta lepromatosa mempunyai resiko tertular 4-10 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal tidak serumah. Sedangkan penderita tipe tuberkuloid mempunyai kemampuan menularkan pada orang lain yang serumah sekitar 2 kali dari yang tidak serumah. Resiko penularan kepada anaknya lebih dominan dibandingkan resiko terhadap pasangan hidupnya (Agusni, 2001).
  • Penularan kusta yang sebenarnya masih belum seluruhnya terungkap. Saat ini yang diperkirakan sebagai sumber penularan (port d’exit) adalah mukosa hidung penderita kusta tipe lepromatosa yang belum diobati. Selain itu juga pada lesi kulit nodular yang pecah bisa ditemukannya banyak kuman M. Leprae sebagai tempat port d’entry berada di mukosa hidung secara droplet infection. Seterusnya M. leprae melakukan adesi dan masuk ke dalam monosit dan beredar di darah. Monosit berperan sebagai kuda troya yang akhirnya pecah lalu kuman masuk ke sel Schwan tepatnya di perineum(Boddingius, 1995).
  • Setelah World Health Organization (WHO) melakukan program eliminasi kusta, dengan menggunakan Multi Drug therapy (MDT) selama 22 tahun. Sebelum tahun 2003 dapat terlihat pada gambar 2.2. Pada tahun 1992 terdapat 88 negara yang melakukan program eliminasi tercatat adanya penurunan jumlah kusta, yaitu 1 per 10.000 penduduk. Di tahun 2003 terdapat 9 negara yang tercatat kasus kusta pada prevalensi rata-rata 2.0 - 4.1 per 10.000 penduduk dan 3 negara mempunyai prevalensi kusta rata-rata 1-2 kasus per 10.000 penduduk. Sejak tahun 1981 sampai sekarang sudah lebih dari 12 juta penderita kusta telah mendapatkan pengobatan MDT (morel C.M, 2003).
  • Penyakit kusta banyak menyerang pada masyarakat golongan sosio ekonomi rendah. Keadaan ini dikaitkan dengan gizi yang buruk dan dapat mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh secara umum. Faktor lingkungan serta hygiene yang tidak baik selalu ditemukan pada tempat penderita yang terinfeksi M. leprae (Agusni, 2003).

SEJARAH
  • Sebenarnya penyakit kusta sudah dikenal sejak zaman purbakala, pada waktu itu penyebabnya tidak diketahui, masyarakat hanya mengetahui akibat yang terjadi pada penderita kusta karena menimbulkan kecacatan, saat itulah muncul anggapan bahwa cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kutukan Tuhan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan, bahkan dalam kitab Perjanjian Lama pada Levecticus XIII – XIV dikatakan bahwa “ini adalah sesuatu yang najis dan merupakan kutukan dari Tuhan, sehingga tindaklanjutnya sudah jelas yaitu dengan membuang para penderita ini dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan masyarakat” (Ilias, 1990).
  • Di dalam kitab Sushrat Samhita di zaman India kuno (1300 SM) telah tercantum istilah khust yang diartikan kusta atau lepra (leprosy) pada 600 SM dan di Cina pada 400 SM. Mycobacterium leprae telah ditemukan sejak 129 tahun yang lalu, istilah zaraath yang merupakan Bahasa Ibrani kuno juga mengartikan sebagai kusta. Di dalam kitab-kitab kuno dari Tiongkok (Da Feng) terdapat adanya tulisan pada daun lontar, sedangkan di zaman Mesir kuno (eber paptyrus) telah tertuliskan mengenai penyakit yang sekarang kita sebut lepra. Istilah tersebut berasal dari Bahasa Yunani kuno (WHO, 2003).

ETIOLOGI
  • Penyebab penyakit kusta oleh karena Mycobacterium leprae, yaitu kuman yang bersifat gram positif, berbentuk batang lurus atau melengkung, ukuran panjang 1-8 mikron, diameter 0,2 – 0,5,mikron dan mempunyai sifat pleomorfik. Mycobacterium leprae termasuk golongan Basil Tahan Asam (BTA) bila dilakukan pewarnaan Ziehl Neelsen, namun dalam mengikat warna merah dari karbol Fuchsin tidak sekuat Mycobacterium tuberculosis (Agusni, 2001).

Mycobacterium leprae, mempunyai 5 (lima) sifat penting yang perlu diketahui yaitu :
  1. Merupakan organisme obligat endogeous dan tidak bisa dibiarkan dalam media buatan
  2. Sifat mengikat asamnya dapat diekstraksi dengan pyridine
  3. Mampu mengoksidasi zat D–dihydroxy phenylalanine (D – DOPA)
  4. Mengivansi sel schwan dari system saraf tepi terutama di perineum
  5. Permukaan membrane mengandung phenolic glycolipid I (PGL-I) dan lipoarabinomannan (LAM) (Shimoji Yang, 1999).

PATOGENESIS PENYAKIT KUSTA
  • Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta (Agusni, 2001).
  • Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu laminin -2 G receptor sejenis -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel schwann (Agusni, 2003).
  • Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.
  • Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid – Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline – Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous (LL) (Jopling, 2003).

MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT KUSTA
  • Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari kaki, pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan hilangnya rasa tusukan. (lihat gambar 2.3) (Bhopal, 2002). Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudah lanjut dan sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.
  • Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula anaesthetica, penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
  • Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler (MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria yaitu :
  1. Ditemukannya lesi kulit yang khas.
  2. Adanya gangguan sensasi kulit.
  3. Penebalan saraf tepi.
  4. BTA positif dari sediaan sayatan kulit.

KLASIFIKASI PENYAKIT KUSTA
  • Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan klasifikasi sebagai berikut :

Klasifikasi Madrid
  • Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953 (Sekula, B.S, 2003). Klasifikasi Madrid tersebut memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas : tipe indeterminate, tipe tuberkuloid, tipe lepromatosa dan tipe borderline (dimorphous).

Klasifikasi Ridley & Jopling
  • Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita sampai pada kekebalan yang tinggi. (lihat gambar 2.4). Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik, bakteriologik, histopatologik, dan imunologik (Mittal RR & Gopta K, 1997). Menurut klasifikasi ini terdapat 5 (lima) tipe klinik penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan yaitu tipe polat tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).
  • Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan imunitas yang lebih.

Klasifikasi WHO
  • Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu :(Norihisa Ishii, 2003).
1.Tipe Pause - Basiler (PB)
  • Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)
2.Tipe Multi – Basiler (MB)
  • Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling

KUSTA REAKTIF
  • Reaksi kusta termasuk dalam pembahasan imun patologik, yaitu terjadi gangguan pada cell mediated immunity dan terjadi peningkatan aktivitas makrofag, natural killer cel, peran komplemen juga berpengaruh, sebetulnya reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi bisa juga merugikan seperti kusta reaktif (Mellors, C.R, 2002).

Pengertian
  • Kusta reaktif suatu gangguan yang berupa munculnya secara spontan proses akut dari suatu penyakit pada perjalanan penyakit yang sebenarnya kronik. Kusta reaktif ini tidak disebabkan oleh Multi Drug Therapy (MDT), tetapi merupakan kondisi alami dari suatu penyakit kusta (WHO, 2003).
  • Kusta reaktif adalah merupakan reaksi tubuh yang hebat terhadap suatu invasi bakteri atau antigen, dimana menimbulkan manifestasi klinis yang sangat hebat, yang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) tipe yaitu :
  • Tipe 1 :Reaksi Reversal, ini merupakan contoh imunopatologi reaksi hipersensitivitas tipe IV.
  • Tipe 2 :Eritema Nodusum Leprosum (ENL), ini merupakan hipersensivitas humoral yaitu peran Ig M Ig G dan komplomen, suatu contoh imunopatologi hipersensitivitas tipe III
  • Tipe 3 :Lucio’s Phenomenon, merupakan reaksi kusta bentuk lain, yang sebetulnya merupakan reaksi kusta tipe 2 ( Bryceson & Jopling, 2003).

Manifestasi Kusta Reaktif
  • Pada kusta reaktif dapat muncul gejala seperti malaise, cefalgia, arthralgi dll. Lebih rinci dapat dibagi dalam 3 (tiga) tipe yaitu :

Reaksi Reversal
  • Gejala klinik reversal umumnya terdapat rasa nyeri dan terderness pada saraf, adanya neuritis dan inflamasi yang begitu cepat pada kulit. Keadaan yang dulunya hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema makin menjadi eritematosa, lesi macula menjadi infiltrate, yang infiltrate makin infiltratif dan lesi lama makin bertambah luas (Birke JA, 2000).
  • Secara histology ditemukan epitheloid dari sel granuloma, dan sel limfosit yang banyak, ditemukannya basil lepra yang banyak, ephiteloid mensekresi TNF-.

Reaksi ENL
  • Gejala yang muncul seperti nyeri dan tenderness disertai panas tinggi dan malaise. Lesi kulit berupa pustular dan ulseratif diikuti dengan hilangnya fungsi saraf. Perkembangan tipe ini sampai terjadi iridocylitis, oechitis, nefritis dengan albuminuria yang disertai non-pitting oedema. Erythema nodosum leprosum dapat berkembang menjadi perbaikan setelah mendapatkan kontrikosteroid,secara histologi ditemukannya foamy histiocyte, dan limfosit tidak banyak (Koshy S, 2001).

Fenoemena Lucio
  • Terjadinya ulseratif yang tidak layak, vaskulitis yang hebat, terdapat macula dan plakat yang disertai nyeri dan adanya nekrotik jaringan, bulu mata hilang, rambut menjadi rontok dan alopesia, bagian distal tubuh mengalami anaesthesia, destruksi rhinitis dan nodul kulit tidak kelihatan. Timbulnya panas badan, limfadenopati, splenomegali dengan limfopenia, mikrositik anemia, hipoalbuminemia dan hipokalsemia, keadaan ini dalam kondisi akut dapat mengakibatkan kefatalan (Rutledge, B.J, 2004).

Kejadian Kusta Reaktif
  • Reasi kusta reversal muncul umumnya 6 (enam) bulan setelah pengobatan dengan obat anti kusta, sedangkan obat lain seperti progesterone, vitamin A, Mycobacterium leprae yang mati dan hancur menjadi banyak fragmen artinya banyak sekali antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun (Bryceson & Jopling, 2003). Potassium idide merupakan faktor presipitasi, pada tipe ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua.
  • Kompleks imun terus beredar di dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat bersarang diberbagai organ seperti kulit dan timbul gejala klinis yang berupa nodul, eritema dan nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai. Pada organ mata akan menimbulkan gejala iridosiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut, pada kelenjar getah bening gejala limfadenitis, pada sendi nefritid yang akut dengan adanya protein urin (Murata, 2003).
  • Tipe reversal dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan destruksi saraf yang bersifat irreversibel, sehingga mengalami ketidakmampuan dalam fungsi organ normal, kondisi diperberat dengan cell mediated immunity gagal menghadapi antigen Mycobacterium leprae (Eric Spierings, 2001).

REFERENSI
  1. Arikunto, Suharsini, (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta
  2. Andrianto Petrus, (1989), Dermanto – Venerologi, EGC, Jakarta
  3. Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  4. Depkes RI, (1995), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta
  5. Depkes RI, (1997), Perawatan Kesehatan Masyarakat Petunjuk Teknis Kesehatan Masyarakat Pada Sasaran Individu dan Keluarga, Jakarta.
  6. Depkes RI, (1999), Buku Pedoman Kusta Nasional Untuk Sentinel Surveilans, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
  7. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Eliminasi Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
  8. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, DITJEN PPM & PLP, Jakarta
  9. Depkes RI, (2006), Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
  10. Harahap, Mawardi (2000), Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta.
  11. Friedman (1998), Perawatan Keluarga, Jakarta : EGC
  12. Notoatmodjo, S, (1993), Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta.
  13. Nursalam, (2001), Metodologi Riset Keperawatan, Cetakan 1, Info Medika, Jakarta
  14. Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta
  15. Suprayitno, (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktek , Jakarta : EGC
  16. Sutedja Endang dkk, (2003), Kusta, Edisi II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 
Dikutip dari tulisan Dr. Suparyanto, M.Kes